LAMPUNG – Alih-alih menegakkan hukum, nama Medi Mulia yang mengklaim diri sebagai Ketua LSM BPAN malah tenggelam dalam pusaran tudingan jual beli suara. Bukan suara rakyat, tapi suara kritik yang diduga bisa ‘diredam’ hanya dengan transferan sejuta rupiah.
Di atas kertas, Medi tampak seperti pejuang lingkungan. Ia gencar menggandeng media untuk membongkar aktivitas tambang pasir ilegal, khususnya di aliran Way Seputih, Desa Rejosari, Seputih Mataram, Lampung Tengah.
Namun, belakangan terbongkar bahwa di balik “advokasi”, terselip skenario transaksional yang mengundang tanya: pejuang rakyat, atau makelar tambang?
Sumber internal menyebut, Medi sempat berkoar-koar mengancam akan membawa kasus ini ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Tapi tiba-tiba, dia seperti lenyap ditelan sunyi. Tak ada lagi pernyataan, tak ada lagi suara. Yang ada hanya jejak transfer Rp1 juta.
“Katanya udah dikasih ‘10 kilo’. Medi sendiri yang bilang ke saya, tapi ngaku masih kurang, soalnya katanya buat bagi-bagi ke belasan media,” ungkap seorang redaksi media yang sebelumnya aktif memberitakan kasus ini.
Transferan yang disebut-sebut sebagai “uang damai” itu rupanya digunakan Medi untuk ‘menyiram suara’. Alih-alih membawa masalah ke ranah hukum, ia diduga justru menjadikan tambang ilegal sebagai ladang basah nego diam-diam.
“Ini bukan advokasi. Ini audisi calo tambang,” celetuk seorang warga yang kesal dengan ulah Medi.
Celakanya, wartawan yang pernah intens berinteraksi dengan Medi juga membenarkan pola semacam ini. Menurutnya, Medi biasa ‘membuka pintu masalah’, hanya untuk menjualnya lagi ke pemilik tambang dengan embel-embel nama media.
“Saya pernah ikut soroti tambang pasir di Jembatan Kembar. Medi ngasih info, tapi belakangnya dia yang nego sendiri sama pengusaha tambang. Katanya buat dua media, tapi uangnya dimakan sendiri,” beber wartawan tersebut, menyebut Medi bak ‘ular sawo’, licin tapi membelit. ***