BEKASI — Forum Masyarakat Cinta Bekasi (FMCB) menegaskan bahwa kebijakan rotasi pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi yang dilakukan Wali Kota sah secara konstitusional dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, termasuk legislatif daerah.
Dalam pandangan hukum tata negara, rotasi dan mutasi pejabat adalah hak prerogatif kepala daerah yang dijamin undang-undang, bukan produk tawar-menawar politik.
“Jangan semua kebijakan dianggap politis. Rotasi pejabat itu bukan dagang jabatan. Itu domain eksekutif, sah secara konstitusional,” tegas Bang Roy, perwakilan FMCB yang juga mahasiswa hukum, Senin (3/11/2025).
Ia menegaskan, kewenangan kepala daerah itu clear and clean sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
“Rotasi pejabat bukan soal siapa dekat dengan siapa, tapi soal siapa yang layak. Kalau DPRD ikut campur sampai ke dapur birokrasi, itu bukan pengawasan, tapi pelanggaran etika tata negara,” ujar Bang Roy tajam.
DPRD Harus Ingat Batas: Pengawasan Bukan Intervensi
FMCB menilai rencana Komisi I DPRD Kota Bekasi untuk memanggil BKPSDM dan Sekda terkait rotasi pejabat terlalu jauh dan berpotensi menabrak batas konstitusional.
Menurut Bang Roy, fungsi pengawasan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 154 huruf c UU 23/2014 hanyalah sebatas memastikan kebijakan daerah sesuai peraturan dan APBD bukan untuk menentukan siapa duduk di jabatan mana.
“DPRD itu lembaga politik, bukan biro kepegawaian. Jangan sampai fungsi kontrol dijadikan alat tekan. Ini bukan pasar jabatan, tapi sistem merit. ASN bekerja berdasarkan kompetensi, bukan koneksi,” tegasnya lagi.
Bang Roy juga menyoroti fenomena umum di daerah, di mana setiap rotasi pejabat selalu diikuti bisikan kecurigaan dan narasi politisasi. Padahal, kepala daerah tidak mungkin mengakomodir semua kepentingan.
“Setiap ada rotasi, yang tak kebagian jabatan langsung menuding ada permainan. Padahal, jabatan itu bukan warisan, bukan hak turun-temurun. Kalau merasa dizalimi, silakan uji ke KASN atau PTUN, bukan main framing di media,” katanya.
Ia mengingatkan, negara sudah menyediakan jalur hukum resmi untuk menilai dugaan pelanggaran, mulai dari Komisi ASN, Inspektorat Daerah, hingga Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Birokrasi itu bukan arena politik, tapi arena profesional. ASN yang kompeten tak perlu takut digeser, karena hukum ada di pihak yang berprestasi,” tegasnya.
FMCB menilai kebijakan rotasi pejabat oleh Wali Kota Bekasi merupakan langkah berani untuk menata ulang birokrasi agar lebih profesional, efisien, dan terbebas dari kepentingan kelompok.
“Kalau kepala daerah tidak berani menegakkan disiplin birokrasi, yang lahir adalah pemerintahan lembek, penuh titipan, dan tidak melayani rakyat,” ujar Bang Roy.
Menurutnya, langkah rotasi pejabat justru menunjukkan keberanian Wali Kota dalam menegakkan prinsip good governance dan merit system, sebagaimana amanat reformasi birokrasi nasional.
FMCB mengingatkan semua pihak agar tidak mempermainkan narasi politik untuk menggoyang kebijakan administratif.
“Bekasi tidak butuh pejabat baperan, tapi pejabat yang bekerja. Jangan ada pihak yang merasa jabatan itu haknya lalu memainkan isu politik. Negara ini diatur oleh hukum, bukan oleh perasaan,” sindir Bang Roy.
Ia menegaskan, jika setiap rotasi pejabat selalu dipelintir menjadi drama politik, maka tujuan pemerintahan untuk melayani publik akan terus terganggu oleh ego sektoral.
“Rotasi pejabat bukan akhir dunia. Kadang dipindah itu bukan hukuman, tapi ujian kapasitas. ASN sejati justru tumbuh di tekanan, bukan di zona nyaman,” ujarnya menutup pernyataan.***



